BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 11 Desember 2010

Kisah Belanda di Negeri Pribumi (Indonesia)

Tidak bisa kubayangkan seberapa sepi masa kanak-kanakku bila Oeroeg tak ada. Biarpun ayahku administratur perkebunan dan Oeroeg hanya anak mandor, kami selalu bermain bersama. Namun ketika kami beranjak besar, Oeroeg mulai menjaga jarak dariku, karena aku orang Eropa dan ia hanyalah inlander….”

Itulah kenangan bahagia masa kecil tokoh “aku” tatkala sehari-hari keluyuran bersama temannya yang bernama Oeroeg. Novel berlatar Sukabumi zaman kolonial karya penulis roman Belanda, Hella S Haasse, tersebut diterbitkan pertama kali pada 1948 dalam bahasa Belanda. Tahun ini, buku tersebut dicetak kembali oleh Gramedia dengan kemasan sampul berbeda dan dialihbahasakan ke bahasa Indonesia.

Helena, sang penulis, lahir di Batavia (sekarang Jakarta) pada 2 Februari 1918. Ibunya adalah seorang pianis bernama Katherina Diehm-Winzenhohler dan ayahnya seorang inspektur keuangan pemerintahan kolonial Belanda bernama Willem Hendrik Haasse. Lewat pekerjaan ayahnya, kehidupan di Indonesia pernah dirasakan Hella.

Oeroeg, novel berisi 144 halaman, bercerita tentang persahabatan dua anak lelaki yang berbeda strata sosial di zaman kolonial. Ceritanya mengambil latar belakang kehidupan masyarakat di perkebunan Kebon Jati, jauh di pedalaman Pegunungan Priangan, Sukabumi, Jawa Barat. Percakapan mereka sehari-hari dalam bahasa Sunda. Haasse menempatkan dirinya sebagai orang pertama dalam dalam cerita, yakni “aku”.

Dari sampul, kita sudah bisa menangkap bahwa isi novel bakal bercerita tentang soal perbedaan sosial itu. Cover bergambar dua anak lelaki berdiri di bawah deras hujan, yang satu lengkap bersepatu, berambut terang, dan mengenakan payung. Sedangkan di sebelahnya bisa dipastikan bahwa itu adalah Oeroeg, anak inlander yang bertelanjang dada dan kaki, berambut gelap, serta berlindung di bawah daun pisang. Di halaman enam novel tersebut, perbedaan sudah dihadirkan. Disebutkan bahwa Oeroeg adalah anak inlander, pribumi. Walau demikian, mungkin di awal cerita kamu akan dibuat penasaran dengan gender sebenarnya dari si aku tersebut hingga nantinya kamu mendapatkan titik temu.

Lalu jurang sosial itu semakin diruncingkan Haasse antara pekerjaan ayah si aku dengan ayah Oeroeg, antara tuan dan mandor. Haasse pun mengisahkan bahwa Oeroeg bisa ber sekolah tinggi hingga MULO, sistem pendidikan kolonial setara dengan SMA, atas balasan terhadap jasa ayah Oeroeg yang meninggal karena menyelamatkan anak seorang tuan Belanda.

Cerita ini, yang berisi kisah berdasarkan kejadian-kejadian nyata yang diolah, bukanlah sekadar pernyataan; ini, dalam bentuk penggambaran, suatu pernyataan kerinduan dan cinta kasih terhadap negeri tempat si “aku” dilahirkan dan dibesarkan, dan di belakang-nya, di bawahnya, untuk memecahkan teka-teki kerinduan terhadap separuh sisi gelap diri si “aku” yang berada di bawah bayang-bayang, yang tak dikenal.

Cerita ini dibangun sebagian besar berdasarkan kesan dan pengalaman masa remaja penulis, meski penulis sendiri tak pernah mengenal anak muda Belanda atau Indonesia seperti mereka, dan tidak pernah berada dalam situasi-situasi yang disamakan dengan cerita ini.
Oerog adalah laporan pencarian jejak masa lalu; si aku, laki-laki muda berkebangsaan Belanda pada tahun 1947 mengenang kembali masa remajanya di Indonesia dan persahabatan masa remajanya dengan anak laki-laki sebaya.***

0 komentar: